Sabtu, 08 Januari 2011

Agama, Konflik, dan Masyarakat

Agama berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Sedangkan Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Antara agama, konflik, dan masyarakat memiliki hubungan yang erat satu dengan yang lainnya. Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Dalam agama banyak berbagai macam konflik yang dapat terjadi. Sebagai contoh yaitu konflik agama jelang pemilu. Menjelang pelaksanaan pemilu 2009 semua partai diimbau untuk ikut memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Pendidikan itu diperlukan agar dalam pemilu tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat. “Sebaiknya mencegah penggunaan simbol-simbol agama dalam politik praktis agar tidak menimbulkan perpecahan,” kata ketua komisi kerukunan Umat beragama Majelus Ulama Indonesia, Slamet Efendi Yusuf, dalam diskusi “Antisipasi Konflik Umat Beragama Menjelang Pemilu 2009,” di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Menurut Slamet, pemilu memang sebagai instrumen politik tentu saja sarat dengan muatan kepentingan dan konflik. Namun, bila terjadi konflik dan kekerasan dalam politik Indonesia, itu akan mencederai proses demokrasi. Karena itu, pemerintah harus segera menyelesaikan konflik apa saja yang menjadi akar dari konflik dan kekerasan pada masyarakat. “Kalau terjadi kekerasan, itu mencerminkan tingkat budaya berdemokrasi masyarakat kita yang masih rendah,” terang dia. Sedangkan pengamat politik dari Reform Institute, Yudi Latif, memperkirakan potensi konflik antar agama menjelang pemilu sangat kecil. Sebab, pada proses pemilu 2009 telah terjadi perubahan paradigma mengenai arti pemilu itu sendiri. Yudi justru menilai, potensi konflik justru terjadi di dalam agama itu sendiri di akar rumput.






Nama   : Anggriana Pradita
NPM   : 10110849
Kelas   : 1ka31
Mata kuliah  : Softskill ISD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar